Kecerdasan spiritual adalah salah satu bentuk upaya manusia dalam menemukan harapan, ketenangan jiwa, dan makna di dalam hidupnya. Kemampuan ini bukan dimiliki semata-mata sejak lahir, tetapi bisa terus dikembangkan lewat beberapa aktivitas. Apa hubungannya dengan peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah ﷺ ?
Sebelum kita membahas lebih lanjut, Mari terlebih dahulu kita membaca Al-Fatihaah, [baca : Mari 'meluruskan niat' dengan Surah Al-Faatihah ], semoga Allah Yang Maha Raḥmān & Raḥīm berkenan memberikan petunjuk-Nya kepada kita dan memudahkan untuk memahaminya :
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
امِيْن يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ
Karakteristik Kecerdasan Spiritual menurut sains modern
Menurut sains modern saat ini, spiritualitas
berhubungan erat dengan kesehatan seorang manusia secara menyeluruh, karena pada dasarnya tubuh, pikiran, dan jiwa
saling berhubungan.
Keadaan sakit pada satu bagian tubuh seorang manusia akan
berdampak pada aspek kesehatan lainnya. Pikiran positif dan
kekuatan yang ditemukan dari kemampuan kecerdasan spiritual diyakini turut
berkontribusi terhadap kesehatan menyeluruh, yang meliputi kesehatan : fisik dan batin.
Pada umumnya seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi akan memiliki karakteristik sebagai berikut :
- Memiliki kesadaran diri, mengetahui apa yang menjadi nilai dalam hidupnya, apa yang dia percayai, dan apa yang memotivasinya
- Mampu mengatasi masalah sesuai prinsip dan keyakinan yang dipegangnya
- Menghargai keberagaman dan menolak untuk melakukan kekerasan pada orang lain
- Merasa butuh memahami akar persoalan dan memiliki kecenderungan untuk mengajukan pertanyaan dasar
- Mampu menyadari hubungan antara objek dan berbagai fenomena yang sedang terjadi
- Memiliki respons yang baik dan cepat, serta mampu mengelola stres dengan lebih baik jika dibanding kebanyakan orang.
baca juga :
Kecerdasan Spiritual pada peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah ﷺ
Isrâ’ dan Mi’râj adalah dua peristiwa besar yang luar biasa, karena tidak ada seorang pun manusia yang dapat mengalaminya, kecuali hamba pilihan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, yaitu Rasulullah Muhammad ﷺ.
Secara etimologi, kata Isrâ’ menurut tata bahasa Arab merupakan bentuk mashdar dari “ asra` yusri isra-an ” yang secara harfiah berarti “perjalanan di waktu malam”. Sedangkan kata Mi’râj, bentuk isim alat dari " `araja ya`ruju `urujan ” yang mengandung arti “tangga”.
Artikel terkait :
الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ
الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ
Allażī khalaqa sab‘a samāwātin ṭibāqā(n), mā tarā fī khalqir-raḥmāni min tafāwut(in), farji‘il-baṣara hal tarā min fuṭūr(in).(Dia juga) yang menciptakan tujuh langit yang berlapis-lapis. Kamu tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih ketidakseimbangan sedikit pun. Maka, lihatlah sekali lagi! Adakah kamu melihat suatu cela? QS. Al Mulk [67] : 3
الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ
الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ
(Dia juga) yang menciptakan tujuh langit yang berlapis-lapis. Kamu tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih ketidakseimbangan sedikit pun. Maka, lihatlah sekali lagi! Adakah kamu melihat suatu cela? QS. Al Mulk [67] : 3
Para Ulama mendefinisikan Isrâ’ sebagai peristiwa perjalanan Rasulullah ﷺ di waktu malam dari Masjid al-Haram (Mekkah) sampai ke Masjid al-Aqsha (Yerusalem Palestina). Sedangkan Mi’râj ialah naiknya Rasulullah ﷺ dari Masjid al-Aqsha ke Sidrat al-Muntaha melewati tujuh lapis langit [jangan bayangkan tujuh lapis langit ini seperti kue lapis yang berlapis-lapis].
Baca juga :
Peristiwa Isrâ’ dijelaskan dalam QS. Al-Isrâ’ [17] : 1 dan Mi’râj di QS. Al-Najm [53] : 13 - 18. Awal perdebatan dimulai ketika Rasulullah ﷺ menceritakan kepada masyarakat Mekkah tentang kejadian Isrâ’ yang dialaminya. Karena jarak antara Mekkah-Palestina yaitu 1.224,45 km, dimana pada saat peristiwa ini terjadi, orang-orang Arab saat itu untuk menempuhnya dalam waktu sekitar dua bulan perjalanan menggunakan kendaraan binatang : onta atau kuda.
Di
kala Rasulullah ﷺ menginformasikan bahwa perjalanan dari Mekkah ke Palestina
hanya ditempuh kurang dari satu malam (lailan), masyarakat kala itu Mekkah gempar. Reaksi ini wajar, karena
peristiwa yang dialami Rasulullah ﷺ dianggap diluar akal pikiran, irasional,
dan kelaziman di saat itu. Mereka menganggap Rasulullah ﷺ sudah mengalami gangguan jiwa dan berhalusinasi.
Ucapan provokatif ini juga berimplikasi terhadap keimanan sebagian kaum muslimin, yang mengakibatkan mereka kembali kepada kekufuran (murtad). Dari sinilah tampil salah seorang sahabat utama Rasulullah Muhammad ﷺ, Abu Bakar yang menyatakan : "jika Rasulullah Muhammad ﷺ menyampaikan peristiwa lebih dari isrâ' sekalipun, aku tetap beriman dan meyakini kebenarannya." Sejak itulah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu diberi gelar “al-Shiddiq”, yang bermakna : orang yang selalu membenarkan perkataan Rasulullah Muhammad ﷺ.
Pokok-pokok Ketauhidan dalam Islam
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا
الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. QS. Al-Isrâ’ [17] : 1
Perlu kita sadari sepenuhnya bahwa : Kemampuan rasio & pikiran manusia sangatlah terbatas. Nalar manusia hanya mampu membenarkan sesuai dengan input data yang diterimanya selama ini dari panca indra yang juga terbatas kemampuanya.
Disisi lain, ajaran agama Islam sangat menekankan tentang tujuan penciptaan Manusia & Jin, sebagaimana ayat-Nya berikut :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. QS. Al-Dzariyaat [51] : 56
Islam dengan sangat jelas mengajarkan, bagaimana memposisikan dan mendudukkan dengan benar antara : Tuhan Yang Esa, sebagai Sang Pencipta sekaligus Dialah Yang Maha Kuasa. Dan manusia, sebagai makhluk cipataan-Nya juga sekaligus hamba-Nya. Dimana manusia 100% sadar akan fitrahnya tersebut.
baca juga :
Surat Al-Isrâ’ [17] : 1 diawali dengan kata سبحان (subhana), yaitu bentuk mashdar sama-`i dari sabbaha yusabbihu tasbihan wa subhana, yang berarti Maha Suci. Muhammad 'Ali al-Shabuni menafsirkan makna subhana dengan ungkapan: تنزيه الله تعالى من كل سوء ونقص (menyucikan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dari segala keburukan dan kekurangan).
Atas dasar ini, fungsi kata subhana di awal surat Al-Isrâ’ [17] untuk menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى (kamal al-qudrah) dan puncak kesuciannya dari sifat-sifat yang disematkan kepada makhluk ( al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir : Jilid 2, 139-140). Penegasan kata subhana di awal surat Al-Isrâ’ [17] sesungguhnya telah memposisikan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى sebagai Sang Pemilik Kekuasaan yang absolut dan Sang Penentu terhadap semua kejadian di langit dan dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya.
Beberapa ulama tasawuf bahkan memaknai kata سبحان (subhana) dengan : Maha Hebat Allah. Disamping itu, indikator bahwa kata : Isrâ’ adalah kekuasaan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, ditunjukkan dengan redaksi أسرى بعبده (asra` bi `abdih). Menurut ilmu bahasa Arab, kata asrâ’ merupakan bentuk fi`il muta`addi, yakni kata kerja yang memiliki objek. Jika ditinjau dari sudut struktur tata bahasa Arab, maka redaksi kalimatnya cukup: أسرى عبده (Allah yang menjalankan hambanya). Huruf : ba' yang menempel di kata `abdihi disebut “ba zaidah” (tambahan) yang berfungsi “li al-ilshaq” (merapatkan kekuasaan Allah kepada tubuh Rasulullah ﷺ).
Jadi peristiwa Isrâ’ yang dialami Rasulullah ﷺ hakikatnya bukanlah kekuatan makhluk dalam melakukan perjalanan kurang dari satu malam, melainkan kekuasaan Tuhan Sang Penguasa Alam Semesta dalam menjalankan seorang hamba yang dikehendaki-Nya. Dalam konteks keimanan seorang Muslim, tidaklah ada yang sulit bagi Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mewujudkan sesuatu yang dikehendaki-Nya, [inilah yang membedakan faham dalam ajaran islam dengan ajaran agamanya lainnya, dimana Kekuasaan Tuhan yang diberikan kepada seorang makhluk-Nya bukan lantas berarti Tuhan bermanifestasi menjadi salah satu makhluk ciptaan-Nya]
اِنَّمَآ اَمْرُهٗٓ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔاۖ اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
Sesungguhnya ketetapan-Nya, jika Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya :"Jadilah !" Maka, jadilah (sesuatu) itu. QS. Yasiin [36] : 82
فَسُبْحٰنَ الَّذِيْ بِيَدِهٖ مَلَكُوْتُ
كُلِّ شَيْءٍ وَّاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
Maka, Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya kamu dikembalikan. QS. Yasiin [36] : 83
Rasulullah Muhammad ﷺ memakai suatu kendaraan ketika Isrâ’
Menurut riwayat sahih, Rasulullah ﷺ menjalani peristiwa Isrâ’ tidak sendirian, tetapi menaiki kendaraan yang bernama : "buraq" dan sekaligus ditemani malaikat yang sangat kuat, bernama Jibril 'Alayhi al-salâm. Menurut Imam Nawawi :
البراق إسم الدابة التي ركبها رسول الله صلى الله عليه وسلم
ليلة الإسراء
“Buraq ialah nama seekor binatang yang pernah
dinaiki Rasulullah ﷺ pada malam Isrâ’” (Syarah Shahih Muslim, Juz 2,
h. 210).
Berdasarkan hadis-hadis sahih dan penegasan para ulama, buraq yang dikendarai Rasulullah ﷺ ketika Isrâ’ itu benar-benar seekor binatang (hakiki), bukan sekadar kiasan (majazi) seperti anggapan sebagian orang. Dalam kitab shahih al-Bukhari disebutkan :
عن
أنس بن مالك عن مالك بن صعصعة أن نبي الله صلى الله عليه وسلم حدثهم عن ليلة أسري
به ... ثم أتيت بدابة دون البغل وفوق الحمار أبيض فقال له الجارود هو البراق يا
أبا حمزة قال أنس نعم يضع خطوه عند أقصى طرفه فحملت عليه ... (رواه البخاري)
“Dari Anas bin Malik, dari Malik bin Sha'sha'ah, bahwa Nabi ﷺ telah menceritakan kepada para sahabat tentang malam ketika beliau di-Isrâ’-kan … ." Kemudian didatangkan kepadaku seekor binatang, yang tubuhnya lebih kecil dari bighal dan lebih besar daripada himar (keledai), putih warnanya." Lalu Jarud bertanya kepada Anas, “apakah itu buraq, wahai Abu Hamzah?" Anas menjawab,"ya binatang itu sekali melangkah, sejauh mata memandang.” Lantas aku (Nabi ﷺ) ditunggangkan di atasnya … “ (Riwayat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 2, h.327).
Hadis tersebut diperkuat dengan riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim, Juz 1, h. 81. Penjelasan-penjelasan mengenai buraq juga dapat dibaca dalam beberapa kitab, antara lain : Syihab al-Din al-Qasthalani, Irsyad al-Sari Syarah Shahih Bukhari, Juz 6, h. 204; Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz 2, h. 210; Syekh Nawawi, Nur al-Zhalam, h. 38; Imam Najum al-Din al-Ghaithi, al-Mi`raj al-Kabir, h. 61-62.
Dari keterangan hadis riwayat al-Bukhari, ada dua hal yang perlu digaris bawahi :
Pertama : keberadaan buraq sebagai kendaraan yang dinaiki oleh Rasulullah ﷺ.Kedua : perihal kecepatan langkah kendaraan itu ketika berjalan. Kata buraq berasal dari " `barq ” yang artinya kilat. Kecepatan buraq menurut penjelasan hadis, sekali melangkah sejauh mata memandang. Ini berarti, kecepatan perjalanan buraq sama dengan kecepatan suara atau bahkan kecepatan cahaya, 300.000 kilometer per detik.
baca juga :
Pertanyaannya, jika buraq itu sebuah makhluk mampu bergerak sangat cepat, sedangkan sayyidina Jibril 'Alayhi al-salâm yang menemani Rasulullah ﷺ juga makhluk yang diciptakan Allah dari bahan cahaya, mengapa tubuh fisik Rasulullah ﷺ yang berbahan baku tanah ternyata mampu bertahan? Efek yang akan diterima oleh tubuh manusia apabila dikenakan kecepatan cahaya, maka badan manusia akan hancur menjadi partikel-partikel sub atom sebelum kecepatan cahaya itu dicapai. Silahkan anda baca pada artikel selanjutnya :
Bagaimana kemajuan sains menjawab kebenaran peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah ﷺ ?
Kebenaran adalah milik Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, Wallahu a’lam bishawab. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Rahmaan & Rahiim berkenan memberikan hidayah-Nya kepada kita, keturunan Nabiyullah Sayyidina Adam 'Alaihissalam. Aamiin Ya Rabbal'alamiin.
Semoga bemanfaat