Menurut ajaran Islam, Sidratul Muntaha (Arab: سدرة المنتهى, translit. Sidrat al-Muntahā) adalah sebuah pohon bidara (sidr) yang menandai akhir dari langit ketujuh, yang sekaligus tanda batas tempat makhluk tidak dapat melewatinya.
Mari terlebih dahulu kita membaca Al-Fatihaah, [baca : Mari 'meluruskan niat' dengan Surah Al-Faatihah ], semoga Allah Yang Maha Raḥmān & Raḥīm berkenan memberikan petunjuk-Nya kepada kita dan memudahkan untuk memahaminya :
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
امِيْن يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ
Penggambaran Sidratul Muntaha dalam berbagai kepercayaan
Dalam kepercayaan ajaran lain ada pula semacam kisah yang mirip dengan Sidratul Muntahā, yang disebut sebagai "Pohon Kehidupan". Dalam agama Baháʼí Sidrat al-Muntahā biasa disebut dengan "Sadratu'l-Muntahá" adalah sebuah kiasan untuk penjelmaan Tuhan.
Ilustrasi tentang : Pohon
kehidupan atau dikenal dengan sebutan kayon atau gunungan dalam pewayangan
Pohon
kehidupan adalah mitos (miteme) atau arketip yang tersebar luas dalam mitologi-mitologi
dunia, umumnya berkaitan dengan konsep pohon keramat. Berbeda dengan pohon pengetahuan yang menjembatani surga dan dunia bawah, pohon kehidupan menghubungkan segala bentuk
ciptaan. Akan tetapi keduanya merupakan wujud dari pohon dunia ataupun pohon
kosmik, dan digambarkan dalam berbagai agama dan aliran
filsafat sebagai pohon yang sama.
Menurut ajaran Islam, Sidratul
Muntaha adalah sebuah pohon bidara (sidr) yang menandai akhir dari langit ketujuh, yang menandai batas tempat makhluk tidak dapat melewatinya.
Baca juga :
Sidratul Muntaha menurut etimologi
Secara etimologi, Sidrat
al-Muntahā berasal dari kata sidrah dan muntaha. Sidrah adalah "pohon bidara", sedangkan muntaha berarti "tempat berkesudahan" atau
"puncak", sebagaimana kata ini dipakai dalam ayat berikut :
ثُمَّ يُجْزٰىهُ الْجَزَاۤءَ الْاَوْفٰىۙ
kemudian dia akan diberi balasan atas (amalnya) itu dengan balasan yang paling sempurna, QS An -Najm [53] : 41
وَاَنَّ اِلٰى رَبِّكَ الْمُنْتَهٰىۙ
Dengan demikian, secara bahasa Sidratulmuntaha berarti "bidara yang berkesudahan". Disebut demikian karena tempat ini tidak bisa dilewati lebih jauh lagi oleh manusia dan merupakan tempat diputuskannya segala urusan yang naik dari dunia di bawahnya maupun segala perkara yang turun dari atasnya.
Istilah Sidrat al-Muntahā ini disebutkan sekali dalam Al-Qur'an, yaitu pada ayat :
عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهٰى
(yaitu ketika) di Sidratulmuntaha. QS An -Najm [53] : 14
Sidratul Muntaha menurut kisah Mi’râj Rasulullah Muhammad ﷺ
Dalam peristiwa Mi’râj, satu-satunya manusia keturunan Nabiyullah Adam ʿAlayhi al-salām, hanyalah Rasulullah Muhammad ﷺ, yang bisa memasuki Sidratul Muntaha. Dalam perjalanan tersebut, Muhammad ﷺ didampingi malaikat Jibril ʿAlayhi al-salām, dan pada peristiwa Mi’râj itu pula Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, Sang Pencipta Alam Semesta memberikan perintah kepada umat Islam untuk mendirikan salat 5 waktu.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, dari Anas, dari Malik bin Sha'sha'ah dinyatakan bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: "Kemudian Jibril membawaku naik ke langit ketujuh, lalu Jibril meminta untuk dibukakan."
Lanjutan hadits hingga Rasulullah ﷺ berkata:
"Kemudian aku ditinggikan ke Sidratul Muntaha."
Melalui hadits ini jelas disebutkan bahwa Sidratul Muntaha berada di langit ketujuh. Hampir semua riwayat hadits sepakat bahwa Sidratul Muntaha berada di langit ketujuh, kecuali riwayat Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Sidratul Muntaha berada di langit keenam.
Sidratulmuntaha digambarkan sebagai bidara yang sangat besar, tumbuh mulai Langit Keenam hingga Langit Ketujuh. Dedaunannya sebesar telinga gajah dan buah-buahannya seperti bejana atau kendi dari daerah Hajar.
Anas menegaskan bahwa Sidratul Muntaha adalah nirwana keilmuan para nabi yang diutus, dan akhir dari segala keilmuan para malaikat terdekat-Nya. Ka'ab menambahkan, bahwa di atas Sidratul Muntaha adalah berupa hal gaib yang hanya diketahui oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى.
"Kemudian, aku diangkat ke Sidratul Muntaha.
Tiba-tiba, aku menemukan bukitnya seperti punuk unta yang paling baik dan
daunnya seperti telinga gajah. Jibril berkata, "Ini Sidratul Muntaha yang
mempunyai empat sungai, dua di antaranya tersembunyi dan dua lagị adalah
nyata.' Maka aku bertanya, 'Apa itu, wahai Jibril?' Jibril menjawab, Dua yang
tersembunyi adalah sungai di surga, sedangkan dua yang tampak adalah Nil dan
Eufat." (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim juga
disebutkan, "Kemudian, Jibril berangkat bersamaku hingga sampai ke Sidratul
Muntaha. Bukitnya laksana punuk unta yang baik dan daunnya seperti telinga
gajah. Hampir saja daunnya menaungi umat ini. Lalu, Sidratul Muntaha diliputi
dengan berbagai macam warna yang tidak aku ketahui. Kemudian, aku dimasukkan ke
sungai yang di dalamnya terdapat kubah permata dan tanahnya dari kesturi."
Al Qur'anul Karim juga menggambarkan tentang Sidrat al-Muntahā sebagai berikut :
اِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشٰىۙ
Iż yagsyas-sidrata mā yagsyā.
(Nabi Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratulmuntaha dilingkupi oleh sesuatu yang melingkupinya. QS An -Najm [53] : 16
Dijelaskan para ulama, maksud sesuatu yang melingkupi di atas adalah cahaya. Demikian sebagaimana yang digambarkan hadits berikut :
لَمَّا عُرِجَ بِي إِلَى السَّمَاءِ رُفِعْتُ إِلَى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى، فَرَأَيْتُ عِنْدَهَا نُورًا عَظِيمًا، وَإِذَا وَرَقُهَا مِثْلُ آذَانِ الْفُيُولِ، وَإِذَا نَبْقُهَا مِثْلُ قِلَالِ هَجَرَ، وَإِذَا أَرْبَعَةُ أَنْهَارٍ يَخْرُجُ مِنْ أَصْلِهَا نَهَرَانِ ظَاهِرَانِ وَنَهْرَانِ بَاطِنَانِ فَقُلْتُ: مَا هَذَا يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: أَمَا الْبَاطِنَانِ فَنَهَرَانِ فِي الْجَنَّةِ، وَأَمَّا الظَّاهِرَانِ فَالنِّيلُ وَالْفُرَاتُ
Artinya, “Ketika dimi’rajkan ke langit, aku dinaikkan ke Sidratul Muntaha. Kemudian, aku melihat cahaya yang agung. Daun-daun Sidratul Muntaha itu seperti kuping-kuping gajah dan buah-buahnya seperti kendi besar. Di sana ada empat sungai yang dari akarnya keluar dua sungai luar dan dua sungai dalam. Saat itu, aku bertanya, ‘Apa ini, Jibril?’ Ia menjawab, ‘Dua sungai dalam adalah dua sungai di surga, sedangkan dua sungai luar adalah sungai Nil dan Eufrat,’” (Hadis Riwayat Imam Ahmad).
Baca juga :
Sidratul Muntaha juga disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur'an. Istilah sidr atau sidrah termaktub dalam empat ayat Al-Qur'an yakni dalam surat Saba' [34] : 16 dan surat Al-Wāqi'ah [56] : 28. Setiap istilah sidr atau sidrah ini memiliki makna pohon bidara namun hanya Allah yang mengetahui hakikatnya.
Menurut Kitab As-Suluk, Sidrat al-Muntahā adalah sebuah pohon yang terdapat di bawah Arasy, pohon tersebut memiliki daun yang sama banyaknya dengan sejumlah makhluk ciptaan Allah.
Dinamakan Sidratul
Muntaha karena tempat pohon merupakan puncak segala sesuatu yang naik dari bumi
dan yang turun dari langit. Pangkalnya yang turun dan naik tersebut berada di
Sidratul Muntaha. Dinamakan Sidratul Muntaha juga karena menjadi pohon tempat terakhirnya
arwah para syuhada yang senantiasa mendapat karunia rezeki Allah. Pohon
tersebut berada di atas langit ketujuh, di sebelah kanan ‘Arasy, dengan
daun-daun seperti kuping-kuping gajah, buah-buahnya seperti kendi besar,
dahan-dahannya berupa mutiara, yaqut, dan, zabarjad. (Lihat: Tafsir Muqatil bin
Sulaiman, juz IV/160).
Menurut para ulama seperti Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lainnya mengatakan: "Dinamakan sidratul muntaha (pohon puncak), karena ilmu malaikat puncaknya sampai disini. Tidak ada yang bisa melewatinya, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa dinamakan sidratul muntaha karena semua ketetapan Allah yang turun, pangkalnya dari sana dan semua yang naik, ujungnya ada di sana." [Ta’liqat ‘ala Shahih Muslim, Muhamad Fuad Abdul Baqi, 1/145].
Setiap daunnya ditempati malaikat yang selalu berzikir pada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى sehingga Sidratul muntaha layak disebut puncak ketinggian yang diketahui makhluk. Itu pun hanya Rasulullah Muhammad ﷺ yang mengetahuinya. Sampai-sampai malaikat Jibril ʿAlayhi al-salām pun tidak bisa memasukinya.
Demikian seperti yang diakui sayyidina Jibril ʿAlayhi al-salām sendiri :
إني
لم أجاوز
هذا الموضع،
ولم يؤمر
أحد بالمجاوزة
عن هذا
الموضع غيرك
Artinya, “Aku tidak bisa melewati tempat ini. Tidak ada satu pun
yang diperintah melewati tempat ini kecuali engkau.” Setibanya di Sidratul
Muntaha, salam yang terucap dari lisan Rasulullah ﷺ adalah, “At-tahayiyyatul
mubarakatus shalawatu lillah." Dijawab oleh Allah, “Assalamu alaika
ayyuhan-nabiyy warahmatullahi wabarakatuh.” Dijawab lagi oleh Rasulullah ﷺ,
“Assalamu ‘alaina wa ‘ala ibadillahis shalihin.” Bacaan inilah yang hingga
sekarang menjadi bacaan tahiyat shalat kita selaku umat Rasulullah ﷺ. (Lihat:
Tafsir az-Zamarqandi, juz I/189).
baca juga :
Dikatakan bahwa yang menyelimutinya adalah permadani yang terbuat dari emas. Jika Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memutuskan sesuatu, maka "bersemilah" Sidratulmuntaha sehingga diliputi oleh sesuatu, yang menurut penafsiran Ibnu Mas'ud adalah "permadani emas". Deskripsi tentang Sidratulmuntaha dalam hadis-hadis tentang Isrâ’ & Mi’râj tersebut menurut sebagian ulama hanyalah berupa gambaran (metafora) sebatas yang dapat diungkapkan kata-kata.
Kebenaran adalah milik Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, Wallahu a’lam bishawab. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Rahmaan & Rahiim berkenan memberikan hidayah-Nya kepada kita, keturunan Nabiyullah Sayyidina Adam 'Alaihissalam. Aamiin Ya Rabbal'alamiin.
Semoga bemanfaat