Ada perbedaan pendapat para ulama tentang : " Perjalanan Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah ﷺ dilakukan dalam kondisi mimpi atau terjaga ?". Namun dari perbedaan itu, kita dapat mengambil rujukan kepada pendapat yang terkuat, yang disertai dasar hukum dan pertimbangannya.
Sebelum kita belajar menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Mari terlebih dahulu kita membaca Al-Fatihaah, [baca : Mari 'meluruskan niat' dengan Surah Al-Faatihah ], semoga Allah Yang Maha Raḥmān & Raḥīm berkenan memberikan petunjuk-Nya kepada kita dan memudahkan untuk memahaminya :
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
امِيْن يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ
Kisah perjalanan menembus dimensi ruang dan waktu, sebenarnya telah diberikan oleh Allah, Tuhan Yang Maha Perkasa kepada para nabi dan rasul sebelum Rasulullah Muhammad ﷺ diutus ke dunia ini. Namun dari kisah yang terdahulu, kisah Mi’râj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam-lah yang paling fenomenal.
Artikel terkait :
Menembus Lapisan Langit, Melintas Batas [Hadis Sahih tentang Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah Muhammad ﷺ]
Menembus Lapisan Langit, Melintas Batas [Hadis Sahih tentang Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah Muhammad ﷺ]
Ada dua sumber hadis yang bertentangan terkait dengan perjalanan Isrâ’ dan Mi’râj Nabi ﷺ. Hadis pertama, bersanad dari sahabat Muawiyah ibn Abi Sufyan radliyallahu ‘anhu. Adapun hadis kedua, bersanad dari Ummu al-Mukminin Aisyah radliyallahu ‘anha :
Ummu al-Mukminin Aisyah radliyallahu ‘anha, mengkabarkan
bahwa Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya
ber-Isrâ’ dengan ruhnya saja, dan tidak dengan jasadnya. Akan tetapi, sahabat
Mu’awiyah radliyallahu ‘anhu mengkabarkan
bahwa Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan Isrâ’ dan Mi’râj lengkap dengan jasadnya. Sebagaimana dinukil oleh al-Qurthuby (w.
671 H) dalam kitab tafsirnya :
إِنَّمَا أُسْرِيَ بِنَفْسِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Muawiyah berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dijalankan pada malam hari (diisrâ’kan) lengkap dengan jasadnya.”
Ada dilematika terkait dengan dua atsar yang saling bertentangan ini. Masing-masing punya kelemahan. Siti Aisyah ummu al-mukminin kala terjadinya peristiwa Isrâ’ usianya masih terlalu kecil. Sementara sahabat Muawiyah ibn Abi Sufyan kala itu masih ada dalam kekafiran.
Dilematika ini disampaikan oleh al-Qurthuby sebagai berikut :
بِأَنَّهَا كَانَتْ صَغِيرَةً
لَمْ تُشَاهِدْ، وَلَا حَدِّثَتْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ. وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَكَانَ كَافِرًا في ذلك الوقت غير مستشهد
لِلْحَالِ، وَلَمْ يُحَدِّثْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Siti Aisyah saat itu masih kecil, sehingga tidak menyaksikan
secara langsung. Dan ia tidak mendapat cerita langsung dari Baginda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun Mu’awiyah, saat itu kondisinya masih
kafir, yang pasti tidak turut memberi kesaksian dalam peristiwa itu. Ia juga
tidak mendapatkan cerita langsung dari Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Selanjutnya al-Qurthuby (w.
671 H) lebih menekankan agar para pengkaji yang ingin mencari kejelasannya
lebih lanjut untuk merujuk pada kitab karya Qadhi ‘Iyadh.
وَمَنْ أَرَادَ الزِّيَادَةَ
عَلَى مَا ذَكَرْنَا فَلْيَقِفْ عَلَى” كِتَابِ الشِّفَاءِ” لِلْقَاضِي عِيَاضٍ
يَجِدُ مِنْ ذَلِكَ الشِّفَاءَ. وَقَدِ احْتَجَّ لِعَائِشَةَ بِقَوْلِهِ
تَعَالَى:” وَما جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْناكَ إِلَّا فِتْنَةً
لِلنَّاسِ” فَسَمَّاهَا رُؤْيَا
“Siapa yang menginginkan
keterangan lebih lanjut dari penjelasanku ini, maka sebaiknya merujuk pada
Kitab Al-Syifa’ Imam Qadhi ‘Iyadh.
Dari kitab itu, ia bisa mendapati keterangan yang lebih jelas. Imam Qadhi‘Iyadh berhujjah dengan hadisnya Aisyah radliyallahu ‘anha berbekal firman
Allah Subḥānahu WaTaʿālā : “Dan tiada Kami jadikan ru’ya sebagaimana yang telah
Kami perlihatkan kepadamu, melainkan ada manusia yang mengkufurinya.” Secara
tegas dalam ayat ini dinyatakan sebagai “al-ru’ya”.”
Baca juga :
Secara tegas, Allah Subḥānahu WaTaʿālā menyatakan dalam penggalan Q.S. Al-Isrâ’ [17] ayat 60 ini sebagai “al-ru’ya”. Lantas apa makna dari
al-ru’ya di sini?
وَاِذْ قُلْنَا لَكَ اِنَّ رَبَّكَ اَحَاطَ بِالنَّاسِۗ وَمَا جَعَلْنَا
الرُّءْيَا الَّتِيْٓ اَرَيْنٰكَ اِلَّا فِتْنَةً لِّلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُوْنَةَ
فِى الْقُرْاٰنِ ۗ وَنُخَوِّفُهُمْۙ فَمَا يَزِيْدُهُمْ اِلَّا طُغْيَانًا كَبِيْرًا
ࣖ
Terjemahan :
(Ingatlah) ketika Kami berfirman kepadamu, “Sesungguhnya Tuhanmu (dengan ilmu dan kekuasaan-Nya) meliputi seluruh manusia.” Kami tidak menjadikan ru’yā1) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon yang terkutuk2) dalam Al-Qur’an. Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.
Catatan Kaki
1) Menurut sebagian mufasir, yang dimaksud ru’yā di sini berkaitan dengan peristiwa Isrâ’ Mi’râj sehingga maknanya adalah ‘penglihatan Nabi ketika Isrâ’ Mi’râj. Adapun menurut sebagian mufasir lainnya, ru’yā ini berkaitan dengan Perang Badar. Maka, maknanya adalah ‘mimpi yang dialami Rasulullah sebelum peristiwa Perang Badar’.
2) Pohon terkutuk itu adalah pohon zaqum (lihat dalam surah aṣ-Ṣāffāt [37]: 62 dan ad-Dukhān [44]: 43).
Dalam sebuah atsar yang dinukil dari sahabat Ibnu Abbas dan diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan al-Tirmidzi, Ibnu Abbas menyatakan :
هي رؤيا عين أريها النبي صلى
الله عليه وسلم ليلة أسرى به إلى بيت المقدس
“Al-ru’ya di sini maknanya
adalah melihat dengan mata telanjang, sebagaimana hal itu disingkapkan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di malam Isrâ’ ke Baitu al-Muqaddas.”
Dengan demikian, sahabat Ibnu Abbas radliyallahu anhuma sependapat dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan.
Lantas bagaimana dengan pendapat bahwa ru’ya tersebut adalah ru’ya fi al-naum (mimpi)? Ibnu Abbas menyatakan :
وذلك أن رؤيا المنام لا فتنة
فيها، وما كان أحد لينكرها
“Jika al-ru’ya itu dimaknai sebagai
mimpi, maka tidak perlu adanya fitnah, karena tiada satupun orang yang akan
mengingkarinya.”
Maksudnya adalah : sebagaimana penggalan ayat Q.S. Al-Isrâ’ [17] ayat 60 di atas, kata : ru’ya yang dimaksud di situ memiliki konsekuensi fitnah. Itulah sebabnya, maka yang dimaksud dengan ru’ya dalam Q.S. Al-Isra [17] ayat 60, adalah ru’ya yang identik dengan melihat menggunakan mata kepala sendiri. Dengan demikian, perjalanan Isrâ’ itu dilakukan lengkap dengan jasad Nabi yang mulia dan tidak sebatas mimpi. Pernyataan dijalankan dengan jasad dan ditempuh dalam waktu semalam adalah lebih dekat pada memberikan nuansa ujian bagi kaum mukmin pada waktu itu serta lebih dekat dengan dijadikan sumber fitnah.
Kebenaran adalah milik Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, Wallahu a’lam bishawab. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Rahmaan & Rahiim berkenan memberikan hidayah-Nya kepada kita, keturunan Nabiyullah Sayyidina Adam 'Alaihissalam. Aamiin Ya Rabbal'alamiin.
Semoga bemanfaat