Peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj merupakan salah satu di antara mukjizat yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah peristiwa fenomenal itu terjadi hanya dalam mimpi ? Ataukah juga dengan jasad Beliau ﷺ ?
Sebelum kita belajar menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Mari terlebih dahulu kita membaca Al-Fatihaah, [baca : Mari 'meluruskan niat' dengan Surah Al-Faatihah ], semoga Allah Yang Maha Raḥmān & Raḥīm berkenan memberikan petunjuk-Nya kepada kita dan memudahkan untuk memahaminya :
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
امِيْن يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ
Peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah ﷺ merupakan perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual. Tetapi peristiwa tersebut diperselisihkan, ada yang berpendapat bahwa peristiwa tersebut terjadi dalam mimpi. Ada yang berpendapat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Isrâ’ Mi’râj -kan dalam keadaan sadar. Bahkan ada yang meneliti peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah ﷺ dengan sains, walaupun akhirnya tidak ada hasilnya, karena Isrâ’ itu menembus dimensi waktu dan Mi’râj menembus dimensi ruang menuju ke dimensi yang lebih tinggi, yaitu immaterial atau gaib. Artinya tidak bisa diukur dan dikomparasikan dengan sains, apalagi sains berbasis barat sekuler.
Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah ﷺ merupakan salah-satu peristiwa yang wajib diyakini oleh orang Islam. Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi menyebutkan bahwa tidak memercayai adanya Isrâ’ bisa menyebabkan seseorang kafir atau keluar dari agama Islam. Sedangkan apabila tidak memercayai peristiwa Mi’râj bisa menyebabkan seseorang berstatus fasiq. Sebagai muslim tentu percaya dengan terjadinya Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah ﷺ, namun terjadinya melalui mimpi atau dalam keadaan sadar dengan jasad dan ruh itu lah yang diperselisihkan.
Ibnu Hajar berkata: “Sesungguhnya
Isrâ’ dan Mi’râj terjadi dalam waktu satu malam dengan jasad dan fisik
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beliau tersadar, terjadi
setelah diangkat menjadi nabi. Pendapat inilah yang dipegangi mayoritas ulama
ahli hadits, ahli fiqih dan ahli ilmu kalam. Zhahir hadist yang shahih
menunjukkan hal itu. Dan tidak sepatutnya kita berpaling darinya, karena akal
tidak memiliki alasan untuk mengatakan persitiwa itu mustahil sehingga perlu
dita’wil ….”
Artikel terkait :
Artikel terkait :
Ini juga menunjukkan, jika peristiwa
Isrâ’ dan Mi’râj itu terjadi hanya dalam mimpi, maka sudah tentu orang-orang
kafir Quraisy tidak akan mengingkarinya. Begitu pula, tentu sebagian orang yang
sudah beriman tidak akan murtad. Jika hanya dengan mimpi, maka peristiwa Isrâ’
dan Mi’râj itu, sama sekali tidak memiliki nilai mu’jizat. Pendapat yang
mengatakan peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj hanya dalam mimpi, juga menyelisihi
firman Allah Azza wa Jalla, seperti pada :
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا
الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya1) agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. QS. Al Israa' [17] : 1
Catatan Kaki
1) Masjidilaqsa dan daerah sekitarnya diberkahi Allah SWT., di antaranya, dengan diutusnya banyak nabi di sana dan dengan kesuburan tanahnya.
Terjemahan huruf per huruf, silahkan buka di link berikut : Bayan.id
Dari ayat di atas, permulaan ayat dengan tasbih menunjukkan adanya perhatikan kepada sesuatu yang penting. Begitu juga kalimat : بِعَبْدِه , transliterasi : bi ‘abdihi, memiliki makna gabungan antara ruh dan jasad, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Urjûn, dan yang lainnya.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dalam kitab Tafsir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan mengatakan, ayat ini menunjukkan bahwasanya peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj berlangsung dengan ruh dan jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sekaligus. Karena jika tidak demikian, maka kejadian ini bukanlah termasuk tanda kebesaran yang besar dan keistimewaan yang agung.
Baca juga :
Etimologi kata : بِعَبْدِه [transliterasi : bi'abdihi]
Jumlah pemakaian kata بِعَبْدِهِۦ pada Al Qur'an hanya digunakan satu kali, yaitu pada QS. Al Israa' [17] : 1 sebagaimana tertulis di atas. Sedangkan kata dasar dari kata بِعَبْدِهِۦ tersusun dari suku kata ع-ب-د [translit, : ‘ain – ba’ – dal], menurut : quran.bblm.go.id :
- Kata dasar ع-ب-د ini sebagai kata benda berkaitan dengan makna : hamba, budak belian, patik, bayu, perhambaan, perbudakan, tawanan, yg bersifat budak, bersifat hamba, yg bersifat budak belian, yg ditawan
- Kata dasar ع-ب-د ini sebagai kata kerja berkaitan dengan makna :, menyembah, memuja, beribadat, mendewakan, berdoa, bersembahyang, mengaspal, meratakan, membatui, melapisi jalan dgn batu, bekerja keras, membanting tulang, memperlakukan sbg budak, mendagangkan budak, mendagangkan hamba, menghambakan, memperbudak, memperhamba, memperhambakan
Jumlah
pemakaian pola kata : ع-ب-د pada Al-Quran, 275 kali, dipakai untuk kata kerja sebanyak : 123
kali [rinciannya ada disini], dan dipakai untuk kata
benda sebanyak : 152 kali [rinciannya ada disini].
Kajian kata بِعَبْدِهِۦ [transliterasi : bi'abdihi] ditinjau dari aspek tata Bahasa
- Imbuan : kata بِعَبْدِهِۦ ini memiliki imbuan bi ( بِ ) ini dapat berarti : dengan, untuk, agar, kepada, terhadap, merupakan. imbuan bi ( بِ ) ini jika diikuti kata yang memiliki kata dasar yang bisa ditasrifkan maka akan mengakibatkan konsonan_k3 berupa kasrah (i) jika bi ( بِ ) ini tidak akan memiliki pengaruh jika diikuti oleh kata tergolong dalam kata harf. imbuan bi ( بِ ) ini hanya dipakai untuk kata benda dan harf saja.
- Kata benda tanpa berakhiran tanwin (n) : kata بِعَبْدِهِۦ ini merupakan jenis kata benda yang berakhiran tanpa tanwin, kata benda tanpa akhiran tanwin ini dapat memiliki akhiran a ( َ ), i ( ِ ) atau u ( ُ ). Untuk kata benda ini, akhiran yang digunakan adalah i (kasrah). bentuk akhiran (apakah berakhiran a,i atau u), hal ini tergantung pada kata sebelumnya. akhiran i (kasrah) disebabkan karena kata sebelumnya menggunakan kata yang menyebabkan kata berikutnya berakhiran : kasrah.
- Diikuti kata ganti kepemilikan : kata بِعَبْدِهِۦ ini memiliki kata ganti kepemilikan untuk orang ketiga tunggal. adapun kata gantinya untuk orang ketiga tunggal ini menggunakan hi ( هِ ) , hal ini karena ada kata yang ada didepannya yang menyebabkan kata ganti kepemilikan untuk orang ketiga tunggal ini menggunakan hi ( هِ )
Ruh &
Jasad menurut Ulama
Jiwa
sebagai jauhar ruhani berasal dari alam Ilahi (alam malakut), sedangkan
jasad berasal dari alam kejadian (khalq). Namun, yang jelas, menurut Imamal-Gazhali, seorang filsuf muslim
dari Persia yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat pada abad Pertengahan, jasad bukan tempat ruh karena tidak
mendiami tempat tertentu. Jasad hanyalah merupakan alat. Ruh mendatangi
jasad sebagai substansi yang juga diperlukan oleh jasad bantuannya.
Ruh mengatur dan bertasaruf
(bertindak) pada jasad sebagaimana halnya raja dengan kerajaannya.
Keperluan jiwa terhadap badan dapat diumpamakan dengan perlunya bekal bagi
musafir. Seseorang tidak akan sampai kepada Tuhan kalau ruh tidak mendiami
jasadnya selama di dunia. Tingkat yang lebih rendah harus dilalui untuk
sampai pada tingkat yang lebih tinggi.
Imam Al-Gazhali berkesimpulan bahwa hubungan ruh
dengan jasad merupakan hubungan yang saling memengaruhi. Di sini Imam al-Gazhali
mengemukakan hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu
jelas. Ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada
aspek : jasad, akal, atau ruh. Semua itu merupakan suatu kerangka yang saling
membutuhkan dan mengikat. Itulah yang dinamakan manusia.
SyaikhMuhammad Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid tentang tafsiran surat
al-Isra’ ayat 1, beliau menyatakan : telah terbukti memalui dalil, bahwa
Pencipta alam berkuasa terhadap segala hal yang mungkin, maka terjadinya
gerakan yang sangat cepat sampai tak bisa digambarkan terhadap jasad Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam adalah hal yang mungkin. Dengan demikian dapat dipastikan
bahwa keberadaan Mi’râj merupakan perkara yang mungkin terjadi. Peristiwa
tersebut merupakan mukjizat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan
mukjizat adalah suatu hal yang berada di luar nalar akal manusia.
Baca juga :
Apakah Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah ﷺ hanya lewat mimpi ?
Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam kitab tafsirnya mengatakan
bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam secara jasad dan ruh pada
sebagian malam sebelum satu tahun berhijrah, dari rumah Ummu Hani’ di sebelah
Masjidil Haram menuju masjid Baitul Maqdis.
Imam ath-Thabrani telah meriwayatkan melalui
hadis, dari Ummu Hani’ yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menginap di rumahnya saat beliau menjalani Isrâ’-nya. Di suatu saat
pada malam itu saya kehilangan beliau, perasaan inilah yang membuat saya tidak
dapat tidur karena takut bila ada sebagian orang Quraisy yang mencelakakannya.
Di dalam sirah Nabawiah karya Ibnu Hisyam dikatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saat aku tidur di kamar, Jibril mendatangiku dan menggoncangkanku dengan kakinya. Lalu aku duduk namun aku tidak melihat apa-apa, maka aku kembali tidur. Lalu Jibril mendatangiku untuk kedua kalinya, dan menggoncangkanku dengan kakinya. Lalu aku duduk, namun aku tidak melihat apa-apa, maka aku kembali tidur. Lalu Jibril mendatangiku untuk ketiga kalinya dan menggoncangkanku dengan kakinya. Lalu aku duduk dan ia memegang lenganku sehingga aku berdiri bersamanya. Lalu ia keluar ke pintu masiid, dan ternyata ada hewan berwarna putih seperti antara keledai dan bighal. Di kedua pahanya terdapat dua sayap yang mengepak bersama kedua kakinya. Ia bisa meletakkan kaki depannya sejauh matanya memandang. Lalu Jibril menaikkanku ke atasnya dan keluar. Ia tidak tertinggal dariku, dan aku pun tidak tertinggal darinya.” Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah di-Isrâ’ dan Mi’râj-kan dalam keadaan terjaga. Hadits tersebut menerangkan, awalnya Nabi ﷺ tidur kemudian dibangunkan oleh malaikat Jibril ‘alaihis salam dan melakukan Isrâ’ dan Mi’râj.
Kelemahan pendapat bahwa Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah ﷺ hanya lewat mimpi
Ada dua sumber hadis yang bertentangan terkait dengan perjalanan Isrâ’ dan Mi’râj. Hadis pertama, bersanad dari sahabat Mu’awiyah radliyallahu ‘anhu. Adapun hadis
kedua, bersanad dari Ummu al-Mukminin Aisyah radliyallahu ‘anha.
Ummu
al-Mukminin Aisyah radliyallahu ‘anha, mengkhabarkan
bahwa Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya
berisra’ dengan ruhnya saja, dan tidak dengan jasadnya. Akan tetapi, sahabat
Mu’awiyah radliyallahu ‘anhu mengkhabarkan
bahwa Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan Isrâ’ dan Mi’râj lengkap dengan jasadnya. Sebagaimana dinukil oleh al-Qurthuby (w.
671 H) dalam kitab tafsirnya :
إِنَّمَا أُسْرِيَ بِنَفْسِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Muawiyah berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dijalankan pada malam hari (diisrâ'-kan) lengkap dengan jasadnya.”
Ada dilematika terkait dengan dua atsar yang saling bertentangan ini. Masing-masing punya kelemahan. Siti Aisyah ummu al-mukminin kala terjadinya peristiwa Isrâ’ itu, usianya masih terlalu kecil. Sementara sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan kala itu masih ada dalam kekafiran.
Dilematika ini
disampaikan oleh al-Qurthuby sebagai berikut :
بِأَنَّهَا كَانَتْ صَغِيرَةً لَمْ تُشَاهِدْ،
وَلَا حَدِّثَتْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَأَمَّا
مُعَاوِيَةُ فَكَانَ كَافِرًا في ذلك الوقت غير مستشهد لِلْحَالِ، وَلَمْ
يُحَدِّثْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Siti Aisyah saat itu masih kecil, sehingga tidak menyaksikan
secara langsung. Dan ia tidak mendapat cerita langsung dari Baginda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun Mu’awiyah, saat itu kondisinya masih
kafir, yang pasti tidak turut memberi kesaksian dalam peristiwa itu. Ia juga
tidak mendapatkan cerita langsung dari Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Kesimpulan
Perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebagaimana dikatakan oleh al-Qâdhi ‘Iyâdh, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah ﷺ. Sebagai muslim tentu percaya dan beriman terhadap terjadinya Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah ﷺ, namun terjadinya melalui mimpi atau dalam keadaan sadar dengan jasad dan ruh itu lah yang diperselisihkan.
Adapun pendapat yang dipegangi oleh sebagian besar ulama salaf serta mayoritas muta’akhhirîn, baik kalangan Fuqaha, ahli-ahli Hadits, ahli-ahli llmu Kalam dan ahli-ahli Tafsir, bahwa peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj yang dialami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah dengan jasadnya dan dalam keadaaan sadar.
Kebenaran adalah milik Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, Wallahu a’lam bishawab. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Rahmaan & Rahiim berkenan memberikan hidayah-Nya kepada kita, keturunan Nabiyullah Sayyidina Adam 'Alaihissalam. Aamiin Ya Rabbal'alamiin.
Semoga bemanfaat