Yang penting di dalam kehidupan ini : kita telah berbuat kebaikan kepada sesama, tidak menyakiti orang lain, hidup yang harmonis dengan tetangga. Sudah cukupkah demikian ? Benarkah tujuan hidup manusia seperti itu ?
Pemikiran seperti di atas mungkin pernah kita jumpai, pada saat kita bergaul di masyarakat, terutama di wilayah negara Indonesia ini. Pertanyaannya adalah : sebagai seorang Muslim, sudah benarkah pemahaman-pemahaman tersebut ? Sebelum kita belajar menjawab pertanyaan ini,
Mari terlebih dahulu kita membaca Al-Fatihaah, [baca : Mari 'meluruskan niat' dengan Surah Al-Faatihah ], semoga Allah Yang Maha Raḥmān & Raḥīm berkenan memberikan petunjuk-Nya kepada kita dan memudahkan untuk memahaminya :
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
امِيْن يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ
Mohon diketahui perbedaan arti antara Ar-raḥmānir-raḥīm(i) yaitu : Ar-Rahmaan [Pemurah] dan Ar-Rahiim [Penyayang], karena ketika diterjemahkan ke bahasa Inggris, contohnya, terkadang kedua kata ini terjemahannya adalah sama.
Perbedaannya terletak pada obyek yang dimaksud. Ar-Rahmaan [Pemurah] ditujukan pada seluruh makhluk-Nya, tanpa melihat keimanannya.
Sementara, Ar-Rahiim [Penyayang] hanya ditujukan bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya.
Kalau kita berkesempatan berdiskusi dengan teman kita non-muslim, saat ini berkembang pula pemikiran : Bukankah semua agama juga mengajarkan kebajikan kepada pemeluknya ? Yang pada akhirnya akan keluar ungkapan : Semua agama baik, bukankah pepatah mengatakan : "Banyak jalan menuju Roma ?"
Kalau demikian apa gunanya kita beribadah ? Apa bedanya pula antara orang yang tersesat dan orang yang tahu jalan yang benar ? Atau kalau semua agama itu baik, sudah benarkah agama/keyakinan yang kita ambil sampai saat ini ?
Pernyataan-pernyataan di atas terkadang bisa 'mempengaruhi keimanan' seorang Muslim, terutama mereka yang masih belum mau 'berbenah diri' agar hidup menjadi lebih baik dan benar. Tidak hanya baik menurut ukuran manusia, tapi juga benar menurut ukuran Sang Pencipta. Awal permulaan inilah yang akhirnya muncul pikiran : "Yang penting baik kepada sesama, hidup harmonis dengan tetangga. Saling menghormati, dan tidak saling menyakiti."
Terkadang pikiran manusia akan berusaha mencari pembenaran terhadap apa yang telah diperbuatnya. Inilah yang harus berusaha kita minimalkan, dan inilah pula pentingnya kita belajar agama. Mari kita urai secara terstruktur dan bertahap, agar keyakinan kita sebagai seorang muslim semakin bertambah benar, dan semakin kuat imannya :
1. Sadar sepenuhnya akan kedudukan dan posisi kita sebagai manusia
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا
الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Terjemahan versi Departemen Agama Republik Indonesia :
Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. QS. Al-Israa' [17] : 1
Ayat di atas sangat populer dikalangan kaum Muslimin, terutama ketika memasuki bulan suci Ramadhan, terlebih saat acara "Peringatan Malam Nuzulul Qur'an". Dalam artikel ini, kita tidak membahas kisah fenomenal dan sangat spektakuler itu, yang hanya bisa diterima oleh qolbu, karena keterbatasan akal manusia menerimanya, terutama di saat itu ketika perjalanan antar suatu tempat ditempuh dengan menggunakan kendaraan hewan, seperti : unta atau kuda. Membayangkan kecepatan diatas kecepatan cahaya adalah sangat kecil otak manusia mampu menerima. Padahal kisah para 'manusia terpilih' yang menembus dimensi ruang dan waktu sudah ada dikala itu.
Artikel terkait :
Artikel terkait :
Dua buah kata kunci dari ayat di atas : سُبْحٰنَ الَّذِ (transliterasi : Subḥānal-lażī ) adalah Tuhan Alam Semesta ( adalah : Sang Pencipta), sedangkan kata بِعَبْدِه , (transliterasi : bi‘abdihī ) adalah Rasulullah Muhammad ﷺ, makhluk pilihan-Nya ( adalah : abdi/hamba-Nya).
Manusia harus sepenuhnya sadar akan kedudukannya sebagai seorang abdi/hamba-Nya. Walaupun Rasulullah ﷺ adalah makhluk pilihan, yang mempunyai keistimewaan dibanding mahkluk-makhluk-Nya yang lain, akan tetapi Beliau ﷺ tetaplah seorang abdi/hamba-Nya. Inilah juga yang harus disadari oleh umatnya. Ajaran Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menyadari sepenuhnya akan posisi tersebut.
Kata : سُبْحٰنَ الَّذِ (transliterasi : Subḥānal-lażī ) ketika dialih bahasakan, ke bahasa Indonesia sebagai contohnya, sering diterjemahkan menjadi : Maha Suci Allah. Agar lebih tepat, dan qolbu kita lebih mendalam merasakannya, silahkan dimaknai menjuadi : Maha Hebat Engkau Ya Rabb.
2. Siapakah yang seharusnya dijadikan panutan oleh kaum Muslimin ?
Suri tauladan dan panutan seorang muslim yang baik dan benar adalah : Nabi Muhammad ﷺ , yang sekaligus ditugaskan menjadi Rasulullah, dimana salah satu tugas Beliau ﷺ adalah :
رَسُوْلٌ مِّنَ اللّٰهِ يَتْلُوْا صُحُفًا مُّطَهَّرَةًۙ
(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Nabi Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran suci (Al-Qur’an) QS. Al Bayyinah [98] : 2
ۗفِيْهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ
yang di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus (benar). QS. Al Bayyinah [98] : 3
Imam As-Shawi menjelaskan ayat "yatlụ ṣuḥufam muṭahharah", yakni Nabi ﷺ membacakan kandungan yang tertulis dalam mushaf atau Al-Qur'an, bukan membaca secara hakikatnya sesuatu yang tertulis dalam mushaf. Karena Nabi Muhammad ﷺ membacakan Al-Qur'an dengan hafalan. Sehingga, meskipun Nabi ﷺ seorang yang ummi, tidak bisa baca tulis, namun ketika membacakannya sama persis dengan yang tertulis di dalam mushaf, jadi seperti orang yang membacanya. Sah saja menisbatkan membaca mushaf kepadanya meskipun tidak dapat membaca dan menulis. (Ahmad bin Muhammad As-Shawi, Tafsir Jalalain dan Hasyiyah As-Shawi, [Surabaya, Dar Ilmi], juz IV halaman 457).
Artikel terkait :
Menurut Prof. Qurish Shihab kata “yatlu” yang berarti membaca, digunakan Al-Qur’an untuk bacaan yang sifatnya benar dan hak. Karena itu objek kata ini sering kali adalah wahyu Ilahi. Di sini pun kata “yatlu” mengisyaratkan bahwa yang dibaca oleh Rasul ﷺ adalah wahyu Allah yang tentu saja sifatnya adalah hak dan benar. Sedangkan kata “qayyimah” diambil dari kata “qawama” (قَوَم) yang berarti berdiri tegak lurus. Kata tersebut digunakan dalam berbagai makna. Namun kesimpulan maknanya adalah sempurna memenuhi semua kriteria yang diperlukan. Al-Qur’anul Karim, demikian juga bagian-bagiannya dari yang terkecil hingga yang terbesar merupakan tuntunan yang sangat sempurna, lurus tidak ada kebengkokan di dalamnya. (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Lentera Hati, Cilandak Timur Jakarta: 2005] Volume 15 halaman 443).
3. Bagaimanakah seharusnya menjadi abdi/hamba-Nya yang baik dan benar ?
Setelah diri kita sadar sepenuhnya bahwa kita adalah seorang abdi-Nya atau hamba-Nya, selanjutnya apa yang seharusnya kita lakukan ?
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Terjemahan versi Departemen Agama Republik Indonesia :
Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. QS Aż-żāriyāt [51] : 56
Ayat ini dengan jelas menerangkan tujuan manusia diciptakan : يَعْبُدُوْنِ (transliterasi : ya‘budūn), terjemahan : beribadah. Ayat ini sekaligus memberitahu kita, apa kewajiban yang harus dilakukan oleh sebagai seorang hamba-Nya.
4. Siapakakah Tuhan Alam Semesta ini ? [Poin inilah yang paling penting diantara yang lain]
Di dunia ini ada banyak agama, dan Tuhan yang disembah pun sepintas lalu seperti berlainan. Betulkah demikian ? Apakah memang Tuhan, Sang Maha Pencipta itu lebih dari satu ? Lantas manakah Tuhan yang berhak kita sembah ? Kalau Anda terbiasa membaca tulisan berhuruf latin, silahkan buka Al Qur'an dari halaman paling kiri, Surat kedua, sebelum Surat yang terakhir menjawab dengan jelas : Siapakah Tuhan ? Apa syarat berhak disebut Tuhan ?
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dialah Allah Yang Maha Esa. QS. Al-Ikhlas [112] : 1
اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ
Allah tempat meminta segala sesuatu. QS. Al-Ikhlas [112] : 2
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ
Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan QS. Al-Ikhlas [112] : 3
وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ
serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.” QS. Al-Ikhlas [112] : 4
Islam sebagai sebuah ajaran agama penyempurna, yang dibawa oleh Rasulullah terakhir, Nabiyullah Muhammad ﷺ, telah memberikan kepada kita pelajaran berharga : " Siapakah sebenarnya Tuhan Alam semesta ini ?" Al Qur'an telah memberikan informasi tentang hal tersebut. Sangat sederhana, tidak berbelit-belit, dan mudah dimengerti oleh setiap akal manusia.
Inilah Pokok-pokok Ketauhidan yang menyebabkan batal tidaknya amalan seorang anak keturunan Nabiyullah Adam عَلَیهِ السَّلام ketika hidupnya.
Baca juga :
Siapakah Tuhan Alam Semesta ? [Cara sederhana Tuhan mengenalkan diri-Nya]
Siapakah Tuhan Alam Semesta ? [Cara sederhana Tuhan mengenalkan diri-Nya]
Kalau berdiskusi dengan teman kita yang non muslim tentang Tuhan adalah suatu hal yang ringan, karena perdebatan itu masih sesama manusia, terlebih Umat Islam telah dibekali dengan Ilmu Tauhid yang sangat jelas, baik dan benar. Akan menjadi masalah serius ketika kelak waktunya tiba, diri kita ditanya oleh malaikat-malaikat Allah : "Siapakah Tuhanmu ?"
Ketika hafal, faham, dan sering mengamalkan Surat Al-Ikhlas, pertanyaan awal ketika masuk di alam barzakh tentang "Siapakah Tuhanmu", atas ijin dan pertolongan-Nya, jawaban kita akan mudah dan tegas dengan membaca : Surat Al Ikhlas sebagaimana kebiasaan kita ketika masih di dunia.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُبِرَ الْمَيِّتُ أَوْ قَالَ أَحَدُكُمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ يُقَالُ لأَحَدِهِمَا الْمُنْكَرُ وَالآخَرُ النَّكِيرُ ، فَيَقُولَانِ : مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ ؟ فَيَقُولُ مَا كَانَ يَقُولُ : هُوَ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ . فَيَقُولانِ : قَدْ كُنَّا نَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُولُ هَذَا ، ثُمَّ يُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ سَبْعُونَ ذِرَاعًا فِي سَبْعِينَ ، ثُمَّ يُنَوَّرُ لَهُ فِيهِ ، ثُمَّ يُقَالُ لَهُ : نَمْ ، فَيَقُولُ : أَرْجِعُ إِلَى أَهْلِي فَأُخْبِرُهُمْ ، فَيَقُولَانِ : نَمْ كَنَوْمَةِ الْعَرُوسِ الَّذِي لا يُوقِظُهُ إِلا أَحَبُّ أَهْلِهِ إِلَيْهِ حَتَّى يَبْعَثَهُ اللَّهُ مِنْ مَضْجَعِهِ ذَلِكَ.
وَإِنْ كَانَ مُنَافِقًا قَالَ : سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُولُونَ فَقُلْتُ مِثْلَهُ لا أَدْرِي . فَيَقُولَانِ : قَدْ كُنَّا نَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُولُ ذَلِكَ ، فَيُقَالُ لِلأَرْضِ : الْتَئِمِي عَلَيْهِ ، فَتَلْتَئِمُ عَلَيْهِ ، فَتَخْتَلِفُ فِيهَا أَضْلاعُهُ ، فَلا يَزَالُ فِيهَا مُعَذَّبًا حَتَّى يَبْعَثَهُ اللَّهُ مِنْ مَضْجَعِهِ ذَلِكَ
xx
“Apabila mayit atau salah seorang dari kalian sudah dikuburkan, ia akan didatangi dua malaikat hitam dan biru, salah satunya Munkar dan yang lain Nakir, keduanya berkata, “Apa pendapatmu tentang orang ini (Nabi Muhammad)?” Maka ia menjawab sebagaimana ketika di dunia, “Abdullah dan Rasul-Nya, aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Keduanya berkata, “Kami telah mengetahui bahwa kamu dahulu telah mengatakan itu.” Kemudian kuburannya diperluas 70 x 70 hasta, dan diberi penerangan, dan dikatakan, “Tidurlah.” Dia menjawab, “Aku mau pulang ke rumah untuk memberitahu keluargaku.” Keduanya berkata, “Tidurlah, sebagaimana tidurnya pengantin baru, tidak ada yang dapat membangunkannya kecuali orang yang paling dicintainya, sampai Allah membangkitkannya dari tempat tidurnya tersebut.”
Apabila yang meninggal adalah orang munafik, ia menjawab, “Aku mendengar orang mengatakan aku pun mengikutinya dan saya tidak tahu.” Keduanya berkata, “Kami berdua sudah mengetahui bahwa kamu dahulu mengatakan itu.” Dikatakan kepada bumi, “Himpitlah dia, maka dihimpitlah jenazah tersebut sampai tulang rusuknya berserakan, dan ia akan selalu merasakan azab sampai Allah bangkitkan dari tempat tidurnya tersebut.” (HR. Tirmidzi, no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
5. Meluruskan niat kita
Setelah keempat hal di atas kita fahami dan sadari dengan sepenuhnya, bahwasanya : Allah Yang Maha Esa adalah Sang Pencipta Alam Semesta beserta seluruh isinya ini, dan kita adalah hamba-Nya, selanjutnya dalam setiap saat, mari kita biasakan untuk berikrar dengan lesan dan hati :
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. QS. Al Faatihah [1] : 5
Baca juga :
Baca juga :
Demikian mudah-mudahan : dapat menjawab berbagai pertanyaan di awal artikel ini, dapat lebih menambah dan memantabkan keimanan kita, menjadikan kita semakin memahami tujuan sebenarnya keberadaan kita diciptakan.
Kebenaran adalah milik Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, Wallahu a’lam bishawab. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Rahmaan & Rahiim berkenan memberikan hidayah-Nya kepada kita, keturunan Nabiyullah Sayyidina Adam 'Alaihissalam. Aamiin Ya Rabbal'alamiin.
Semoga bemanfaat.